Cinta itu berarti aku mengetahui orang yang aku cintai.
Aku menyadari demikian banyak faset dirinya – buka cuma sisi baiknya tetapi juga keterbatasan, inkonsistensi, dan kelemahan-kelemahannya. Aku menyadari perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya, dan aku mengalami sesuatu yang menjadi inti dirinya. Aku bisa menyelinap di balik topeng-topeng sosial dan peran yang dijalaninya serta melihat dirinya pada tingkat yang lebih dalam.
Cinta berarti aku peduli pada kesejahteraan orang yang aku cintai.
Dalam ketulusanku, kepedulianku bukan untuk mengikatnya seperti benda yang kumiliki. Sebaliknya, kepedulianku membebaskan kami berdua. Bila aku peduli padamu, aku peduli pada pertumbuhanmu, dan aku berharap semoga engkau menjadi apapun yang engkau inginkan. Konsekuensinya, aku tidak akan meletakkan batu ganjalan untuk hal-hal yang kau lakukan untuk meningkatkan dirimu sebagi pribadi, sekalipun itu berarti aku harus merasakan ketidaknyamanan dalam menjalani waktu.
Cinta berarti memiliki rasa hormat terhadap harga diri orang yang aku cintai.
Bila aku mencintaimu, aku bisa melihatmu sebagai seseorang yang terpish dari aku, dengan nilai-nilaimu, dengan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaanmu, dan aku tidak akan memaksamu untuk menyerahkan identitasmu, menyesuaikannya pada citra yang aku harapkan engkau tunjukkan padaku. Aku bisa mengizinkan dan mendorongmu untuk berdiri sendiri dan menjadi dirimu, dan menghindari memperlakukanmu sebagai obyek atau menggunakanmu sebagai pemuas kebutuhan-kebutuhanku.
Cinta berarti tanggung jawab terhadap orang yang aku cintai.
Bila aku mencintaimu, aku responsif terhadap kebutuhan-kebutuhanmu sebagai satu pribadi. Tanggung jawab ini tidak mengikatku untuk melakukan untukmu apa yang bisa engkau lakukan sendiri; bukan pula berarti aku menjalani hidupku untukmu. Ia hanyalah untuk menyadarkanku siapa aku dan apa yang aku lakukan untukmu, dengan begitulah aku kemudian langsung terlibat dalam kebahagiaan dan kesulitanmu. Seorang kekasih bisa saja melukai dan mengecewakan yang dicintainya, dan dalam hal ini aku menyadari bahwa cinta membutuhkan kesediaan menerima tanggung jawab dari apa yang telah kulakukan terhadapmu.
Cinta berarti tumbuh bagiku serta orang yang aku cintai.
Bila aku mencintaimu, aku menjadi tumbuh karena cintaku. Engkau menjadi stimulan bagiku untuk lebih memenuhi keinginanku mewujudkan diriku yang kuinginkan, demikian pula cintaku akan meningkatkan dirimu. Masing-masing kita tumbuh karena kepedulian kita dan karena kita dipedulikan; masing-masing kita berbagi untuk memperkaya pengalaman yang tidak merusak diri kita. Buscaglia (1992) menggambarkan ini dengan baik ketika menuliskan “Kita bukan hanya harus menghormati kebutuhan bagi pertumbuhan kekasih kita, kita harus mendorongnya, sekalipun dengan resiko akan kehilangan dia. Kelihatannya memang ironis, tapi begitulah yang sebenarnya, bahwa hanya melalui pertumbuhan yang terpisahlah akan ada harapan bagi tiap-tiap orang untuk tumbuh bersama-sama.”
Cinta menuntut dihilangkannya rasa takut.
Jampolsky (1981) menegaskan bahwa rasa takut akan kesalahan masa lalu dan ketakutan akan masa depan hanya menyediakan sedikit ruang bagi dinikmatinya dan dihayatinya masa kini. Tidak menilai orang lain adalah satu cara bagaimana aku bisa membebaskan diri dati takut dan mengalami cinta. Penerimaan berarti aku tidak memusatakan diri untuk mengubah orang lain agar mereka menyesuaikan diri pada harapan-harapanku akan diri mereka.
Cinta berarti membuat komitmen pada orang yang aku cintai.
Komitmen itu tdak berarti penyerahan diri secara total masing-masing diri; bukan pula berarti bahwa hubungan yang ada harus permanen. Maknanya adalah bahwa komitmen itu mengandung keinginan untuk selalu bersama-sama di saat-saat pedih, saat-saat sulit, saat-saat perjuangan dan kesedihan, sebagaimana tetap bersama dalam ketenangan dan kebahagiaan.
Cinta berarti bahwa aku mungkin terluka.
Bila aku membuka diri karena percaya padamau, aku mungkin akan mengalami luka, penolakan, atau kehilangan. Karena engkau tidak sempurna, engkau memiliki kapasitas untuk melukaiku; dan karena tidak ada jaminan dalam cinta, tidak ada juga jaminan bahwa cintamu akan abadi. Cinta melibatkan saling berbagi, saling mengalami dengan orang lain yang aku cintai. Cintaku padamu berarti bahwa aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu dan berbagi aspek-aspek hidupku yang bermakna bersamamu. Cintaku juga berarti bahwa aku juga ingin berbagi sisi-sisi hidupku yangpenting bersamamu.
Cinta berarti mempercayai orang yang aku cintai.
Bila aku mencintaimu, aku percaya engkau akan menerima kepedulian dan cintaku dan bahwa engkau tidak akan melukaiku dengan sengaja. Aku percaya bahwa engkau akan melihatku sebagai seseorang yang layak untuk dicintai dan bahwa engkau tidak akan mengabaikanku; aku mempercayai bahwa cinta kita secara hakiki saling berbalas. Bila kita saling percaya, kita ingin terbuka kepada satu sama lain, dan akan dapat melepaskan topeng-topeng dan kecurigaan kita, dan mengungkapkan diri kita yang sebenarnya.
Cinta bisa mentoleransi ketidaksempurnaan.
Dalam sebuah hubungan cinta ada saat-saat bosan, saat ketika rasanya aku ingin menyerah saja, saat-saat sulit yang sunguh-sungguh, dan saat-saat aku mengalami ketiadaan manfaat apa-apa. Cinta yang otentik tidak berati kebahagiaan yang terus-menerus. Aku bisa bertahan di saat-saat sulit, karena aku bisa mengingat apa yang sama-sama pernah kita miliki di masa lalu, dan bahwa aku bisa membayangkan apa yang akan kita dapatkan di masa depan seandainya kita cukup berani menghadapi masalah-masalah kita dan memecahkannya bersama-sama.
Cinta berarti membebaskan.
Cinta diberikan secera bebas, tidak diserahkan karena permintaan. Pada suatu saat yang sama, cintaku padamu tidak bergantung pada apakah engaku memenuhi harapan-harapanku padamu. Cinta sejati tidak berarti, “aku akan mencintaimu ketika engkau sempurna atau ketika engkau menjadi seperti yang aku harapkan”. Cinta yang otentik tidak diberikan dengan rantai pengikat. Ada kualitas tanpa syarat dalam cinta.
Cinta itu meluas.
Bila aku mencintaimu, aku mendorongmu untuk membentuk dan mengembangkan hubungan-hubungan lain. Sekalipun kita untuk satu sama lain, dan komitmen kita berdua menjadi inti dari apa yang kita lakukan, tetapi kita tidak secara total dan eksklusif terikat satu sama lain. Hanya cinta palsulah yang memasung seorang dengan seorang yang lain, demikian dekatnya sehingga tidak memberikan ruang untuk tumbuh. Casey dan Vanceburg (1985) memberikan ini: Bukti yang jujur dari kita cinta adalah komitmen untuk mendorong pengembangan diri masing-masing secara penuh. Kita adalah pribadi-pribadi yang interdependen yang membutuhkan kehadiran yang lain-lain untuk memenuhi takdir kita. Sekalipun demikian, kita juga individu yang terpisah. Kita harus berjuang atas nama kita sendiri.
Cinta berarti memiliki satu keinginan terhadap orang yang aku cintai tanpa memiliki tuntutan yang harus dipenuhinya.
Bila aku bukan apa-apa tanpamu, maka aku tidak akan sungguh-sungguh bebas mencintaimu. Bila aku mencintaimu dan engkau meninggalkan aku, aku akan merasakan kehilangan dan kesedihan, tapi aku masih mampu untuk hidup. Bila aku tergantung padamu untuk makna dan kehidupanku, aku tidak akan bebas menguji hubungan kita; juga tidak bebas untuk memberimu tantangan dan berbeda darimu. Karena rasa takutku kehilangan engkau, aku akan berdiam diri ketika menerima apa yang tidak kuinginkan, dan ini tentulah menimbulkan perasaan kecewa.
Cinta berarti mengidentifikasikan diri dengan orang yang aku cintai.
Bila aku mencintaimu, aku bisa berempati padapmu dan melihat dunia dengan matamu. Aku bisa mengidentifikasikan diri padamu karena aku bisa melihat diriku di dalam dirimu dan di dalam diriku. Kedekatan ini tidak berarti “keberasamaan” yang terus-menerus, karena jarak dan keterpisahan seringkali esensial dalam hubungan cinta. Jarak dapat memperkuat ikatan cinta, dan ia akan membantu kuta menemukan kembali diri kita, sehingga kita bis abertemu lagi dalam sebuah cara yang baru.
Cinta itu selfish.
Aku hanya bisa mencintai dirimu bila aku secara tulus mencintai, menilai, menghadapi, dan menghormati diriku sendiri. Bila aku kosong, maka yang bisa kuberikan padamu adalah kekosonganku. Bila aku merasa bahwa diriku utuh dan berharga, aku akan mampu untuk memberikan padamu dari apa yang sudah kumiliki. Satu cara terbaik bagiku untuk memberimu cinta adalah dengan sepenuh-penuhnya menikamti kebersamaanku denganmu.
Cinta melibatkan kemampuan melihat potensi di dalam diri orang yang aku cintai.
Bila aku mencintaimu, aku bisa melihatmu sebagaimana diri yang engkau inginkan, sementara aku tetap bisa menerima dirimu saat ini. Pengamatan Goethe menjadi relevan dalam hal ini: dengan menghadapi orang sebagaiman adanya, kita membuat mereka menjadi lebih buruk, tetapi denga meperlakukan mereka seolah-olah mereka telah menjadi orang yang mereka inginkan, kita membantu mereka menjadi orang yanga lebih baik.
Cinta itu berarti membuang ilusi tentang penguasaan diri kita, orang lain, dan sekeliling kita.
Semakin kuat aku berusaha mengontrol secara penuh, semakin tidak terkontrol diriku. Cinta berarti penyerahan kontrol dan terbuka terhadap peristiwa-peristiwa hidup. Cinta berarti kepasitas untuk dikejutkan. Menghadirkan kejutan ke dalam cinta, kata Bruscaglia (1992), adalah cara untuk terus menghidupkan hubungan: “Cinta itu mati karena bisa diramalkan; esensinya yang tertinggi adalah kejutan dan kekaguman. Membuat cinta menjadi tahanan hidup keseharian berarti membuang kegairahannya dan membuat ia hilang selamanya.”
Kita menutup diskusi tentang makna cinta sejati dengan berbagi ide dari buku The Art of Loving; cinta yang matang menyimpulkan esensi cinta sejati dengan amat baik:
"Cinta yang matang adalah kesatuan dalam keadaan yang menjaga integritas tiap orang, individualitas masing-masing. Dalam cntalah paradoks ini terjadi, bahwa ketika dua manusia menjadi satu mereka tetaplah dua."
(diterjemahkan dari I Never Knew I Had a Choice, Corey and Corey, 1997)
reff: http://sangnandar.comlu.com/pustaka/pustaka6.html