PEMILIK JOGER T-SHIRT BALI
Saya memproduksi sebuah jam yang
berjalan mundur, yang kami buat justru untuk orang-orang yang berpikir
maju. Kami juga sekarang telah memiliki sebuah VCD yang isinya mengajak
siapa saja untuk berpikir merdeka. Karena dasar dari terbentuknya jiwa
yang inovatif dan kreatif itu adalah kemerdekaan, tanpa kemerdekaan tak
akan ada keberanian.
Ketika Joger didirikan, banyak
entrepreneur yang dilibatkan. Jadi bukan saya saja yang menjadi
entrepreneur, namun semua karyawan saya juga entrepreneur. Di saat yang
sama saya juga membuat mereka sebagai pemilik Joger juga. Di Joger tidak
ada sentralisasi, Cuma memang kebetulan untuk masalah disain tim
kreatifnya terdiri dari lima orang, dan untungnya kelimanya ada dalam
diri saya, sehingga si Joger tidak pernah terjadi keributan. Hal ini
saya lakukan karena pernah saya memiliki banyak ahli, namun belakangan
mereka jauh lebih banyak berdebat ketimbang bekerja.
Lalu menyikap dispromotion, dalam sebuah
forum saya mengutarakan kata ini, banyak yang tidak setuju dengan kata
itu, apalagi kemudian banyak juga yang menanyakan atas kapasitas apa
bisa mengatakan kata itu. Oleh karena itu saya membuat sendiri gelar
saya yaitu BAA dan BSS kepanjangan dari Bukan Apa-Apa dan Bukan
Siapa-Siapa. Lalu saya balik bertanya kepada mereka, apakah tidak boleh
bagi “orang baru” seperti saya ini untuk menyatakan sebuah kebenaran.
Di Joger ternyata saya lebih berani
membuat istilah-istilah baru, yang akhirnya diterima. Seperti kata
dispromotion yang pada awalnya ditolak akhirnya diterima. Dispromotion
itu adalah konsep berpromosi yang tidak bermaksud untuk menaikkan jumlah
omzet, karena saat ini jika ada orang yang ingin membeli kaos Joger
dalam jumlah banyak selalu saya tolak. Ternyata hal ini melahirkan nilai
baru, dan sayangnya kembali dicurigai sebagai taktik kami dalam
menaikkan jumlah omzet, saya membantahnya dengan mengatakan, secara
jujur, ramah dan bermanfaat saya melakukan dispromotion ini. Jadi
dispromotion sama sekali tidak ditujukan untuk mempertinggi keuntungan
yang saya terima.
Akar persoalan itu bisa saja menjadi
masalah yang perlu dipecahkan atau menjadi menghancurkan. Contoh belum
lama ini saya membaca 7000 karyawan pabrik sandal di PHK kemudian ada
salah seorang diantara mereka yang menemui dan meminta Joger menolong
mereka dalam memasarkan sandal itu. Joger mau saja membantu namun Joger
tidak akan menjual sandal yang “biasa-biasa saja”, sandal itu harus lain
dari yang lain. Kemudian kami melihat ada peluang untuk menjual sandal
dalam jumlah yang besar. Strategi penjualan yang kami terapkan adalah
kami hanya menjual sandal sebelah kiri saja, dan jika membeli sebelah
kiri akan mendapatkan bonus sebelah kanan. Harganya pun kami bagi dua,
jadi masing-masing seharga Rp. 16.500. Ternyata menjual sandal yang
biasa dengan cara yang berbeda ini sudah menimbulkan suatu permintaan
baru, saat ini pabrik sudah kewalahan. Sekarang ada kekosongan di Bali
karena orang merasa wajib membeli yang begini karena hal ini telah
menjadi cerita. Kini orang kalau ke Bali khusus ke Joger karena orang
tahu kita adalah tempat yang selalu hadir dengan ide-ide baru.
Kalau kini Joger menjadi besar bukan
karena keinginan kami, namun lebih banyak karena keinginan masyarakat.
Dan semenjak 1987 Joger tidak lagi Profit Oriented (berorientasi kepad
akeuntungan) tetapi Happiness Oriented (berorientasi kepada
kebahagiaan). Di Joger juga ada kebebasan untuk melanggar aturan asalkan
demi konsumen. Sehingga saya mengatakan bahwa kalau Anda bikin susah
boss itu bahaya besar, tapi kalau bikin susah konsumen itu bahayanya
jauh lebih besar.
Sebetulnya dalam bisnis yang berbasis
kreatifitas dan inovasi tidak mengenal persaingan, karena jika kita
melukis dan ada yang hanya menyukai lukisan kita, maka berapa pun
harganya, dan betapapun lebih bagusnya lukisan yang lain, orang akan
tetap mencari dan membeli lukisan tersebut. Kami di Joger memang memilih
untuk lebih leluasa menciptakan konsep, kami tidak mau memproduksi
sendiri dan kalau saya masuk diproduksi kelihatannya untuk besar dan
resikonya nanti terlalu cepat kaya. Dan sejak kami di luar Joger dan ini
salah satu cara yang dicurigai sebagai taktik, padahal tidak. Dan saya
pernah ditanya di Universitas Airlangga apakah saya punyak taktik atau
punya strategi, sebetulnya kami tidak punya strategi dan tidak punya
taktik kami hanya punya sikap dan komitmen yang kami jalankan secara
konsisten dan konsekuen.