Segala Sesuatu Yang ada Tidak ada Yang sia-sia,jadilah Inspirasi buat orang-orang disekitarmu.

Wednesday 20 April 2011

Melihat Dunia dengan Jari


Hidupnya hampir penuh oleh kesedihan. Kehilangan ibu, kehilangan penglihatan, kehilangan pekerjaan, kehilangan teman, dan hampir saja Fitriana kehilangan harapan. Untung, akhirnya ia menemukan kebahagiaan.

Sekilas tak ada yang tampak aneh pada Fitriana, biasa dipanggil Fifi. Yang mungkin sedikit aneh, dia sehari-hari bekerja sebagai wartawan padahal matanya cacat. Mata kirinya buta total, sementara mata kanannya hanya bisa melihat samar-samar.

Sebelumnya Fifi tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan kehilangan penglihatan seperti yang ia alami saat ini. Sejak usia empat tahun, ia memang telah kehilangan penglihatan di mata kirinya. Meski begitu, ia tidak pernah mengalami kesulitan apa-apa.


Fifi menyelesaikan pendidikan seperti kebanyakan orang seusianya. Tahun 1996, ia lulus dari Universitas Riau, Pekanbaru, sebagai sarjana pendidikan bahasa Inggris. Begitu lulus, ia bekerja sebagai instruktur bahasa Inggris di sebuah perusahaan perminyakan di Pekanbaru.

Selama enam tahun ia bekerja di sana. Jalan hidupnya mulai berubah di akhir tahun 2002 ketika ibunya meninggal. Bagi Fifi, wafatnya sang ibu adalah cobaan berat dalam hidupnya. Ayahnya telah meninggal delapan tahun sebelumnya, sehingga ibunya menjadi tumpuan hidup sekaligus orang yang paling dekat dengan dia. Maklum saja, Fifi adalah anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan di keluarga. Tak mengherankan jika ia mendapat curahan kasih sayang lebih besar daripada kakak-kakaknya.

Sejak ibunya meninggal dunia, Fifi kerap merasa sedih. Kesedihan itu berlangsung lama dan berlarut-larut sampai mempengaruhi kehidupannya. Sampai suatu saat Fifi merasa, daya penglihatan mata kanannya mulai menurun. Ia yang sebelumnya tak mengalami hambatan dalam membaca, dalam waktu singkat tak bisa lagi melihat huruf. Semua benda yang dilihat menjadi tampak samar-samar belaka. Dunia berubah total, menyebabkan jiwa Fifi terguncang. "Mungkin karena pengaruh terlalu sedih itu," katanya menduga. Ia memang tak bisa melepaskan kesedihan ditinggal pergi ibu tercinta.

Karena takut kondisinya semakin parah, Fifi berangkat untuk berobat ke Jakarta. Ia menumpang di rumah tantenya di daerah Klender, Jakarta Timur. Ia berkonsultasi dengan para dokter mata di RSUPN Cipto Mangunkusumo, RS Mata Aini, hingga Jakarta Eye Center. Dokter menawarkan operasi. Tapi Fifi tak berani menjalani karena dokter pun tidak bisa menjamin keberhasilan operasi. Risiko gagal amat tinggi. Soalnya, penglihatan Fifi tinggal sebelah. Jika operasi gagal, ia malah akan buta total. "Saya tak mau ambil risiko," katanya beralasan.

Ia kemudian mencoba pengobatan alternatif. Cara ini pun tidak membuahkan hasil. Saat menjalani terapi alternatif ini, Fifi bertemu dengan seorang ibu yang menyarankan dia belajar huruf Braille. Betapa tersinggungnya Fifi mendengar saran itu. "Wong saya ingin sembuh kok malah divonis buta," ujarnya mengenang. Ia menganggap, saran itu seperti menyuruh orang yang sakit keras untuk menyiapkan kuburan.

Belajar huruf Braille

Jiwa Fifi memberontak. Ia belum bisa menerima jika dirinya buta. Ia tak bisa membayangkan dunia yang gelap tanpa cahaya. Jika buta, berarti ia tak bisa lagi bekerja, tak bisa lagi menikmati indahnya hidup. Ia betul-betul tak sanggup menjadi orang buta. Menakutkan!

Sejak itu mentalnya jatuh. Ia menyesali keadaan. Berbulan-bulan di Jakarta tanpa hasil, padahal rencananya semula untuk berobat. Ia banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri di rumah tantenya, merenungi nasibnya yang naas. Kawan-kawan di Pekanbaru tidak ada yang tahu keadaannya karena Fifi tidak memberitahu mereka. Mereka hanya tahu Fifi pergi ke Jakarta untuk menjalani pengobatan. "Saya tidak mau mereka tahu keadaan saya lalu kasihan sama saya," Fifi beralasan.

Dalam kesedihan itu, ia berusaha lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Banyak-banyak salat dan berdoa. Pelan-pelan akhirnya ia lebih bisa bersabar dan menerima keadaan. Ia yakin bahwa di balik setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Di balik musibah pasti ada hikmah. Ia sangat yakin akan hal itu. Sebelumnya, ia merasa Tuhan memberinya cobaan terlalu berat karena harus kehilangan ibu, lalu kehilangan penglihatan, kehilangan pekerjaan sekaligus kawan-kawannya. Semua terjadi berturut-turut dalam hitungan bulan.

Masalah tidak berhenti sampai di situ. Ia masih punya satu problem lagi. Selama delapan bulan di Jakarta ia tak punya kegiatan apa-apa. Saat itulah ia baru ingat kata-kata si ibu di tempat praktik pengobatan alternatif, yang menyarankan agar dia belajar huruf Braille. Fifi berpikir, mungkin dengan kegiatan itu ia bisa melupakan kesedihannya.

Waktu itu Fifi tidak tahu apa itu huruf Braille. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah berpikir menjadi orang tunanetra. Selama di Pekanbaru ia juga tidak pernah berurusan dengan tunanetra. Yang ia tahu, huruf Braille itu huruf timbul. "Waktu itu saya kira huruf Braille itu ya huruf biasa yang dicetak timbul, gitu aja," kenang Fifi menceritakan kekonyolannya.

Ia kemudian meminta seorang abangnya untuk mencarikan buku Braille di toko buku. Tapi hasilnya nihil. Abangnya sudah mengubek-ubek toko buku Gramedia tapi tak juga menemukan buku yang ia cari.

Dari salah seorang kerabatnya, Fifi akhirnya memperoleh info tentang Yayasan Mitra Netra (YMN), sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dan pemberdayaan tunanetra. Ia kemudian menelepon kantor YMN, bicara langsung dengan Irwan Dwi Kustanto, Wakil Direktur Eksekutif YMN.

Fifi curhat lewat telepon, menceritakan masalah yang ia hadapi. Tentang kesedihannya, tentang kecemasannya, dan seterusnya. Dengan tenang, Irwan mendengar keluhan Fifi. Lalu menghiburnya. Irwan mengatakan, dulu ia pun menghadapi masalah yang sama. "Saya baru sadar ternyata Pak Irwan itu juga tunanetra," ucap Fifi mengenang peristiwa itu.

Irwan tak lupa mengundang Fifi untuk datang ke YMN. "Di sini kamu bisa belajar huruf Braille, bisa belajar pakai komputer yang bisa 'bicara'," kata Fifi menirukan Irwan.

"Komputer bisa bicara? Emangnya ada, Pak?" tanya Fifi heran. Ia menjadi semakin heran ketika Irwan mengatakan bahwa ia juga bisa browsing di internet. "Saya lebih heran lagi, wong saya enggak bisa ngelihat tulisan di monitor, kok bisa main internet," katanya masih tidak percaya.

Tapi keheranan Fifi segera sirna begitu ia berkunjung ke YMN. Apa yang diucapkan Irwan ternyata bukan guyonan. Ia baru tahu ternyata memang ada komputer yang bisa "bicara". Komputernya tidak beda dengan komputer pada umumnya. Yang sedikit unik, komputer itu telah dilengkapi alat dan program khusus yang bisa membaca. Tulisan yang tampil di monitor bisa diubah dalam bentuk suara. Karena itu, meskipun Fifi tak bisa membaca tulisan di monitor, ia tetap bisa bermain internet. "Saya betul-betul terkagum-kagum," katanya.

Kunjungan ke YMN membuat semangat hidupnya bangkit. Ternyata masih ada cara bagi tunanetra untuk tetap berkarya. Dunia belum kiamat hanya karena ia kehilangan penglihatan.

Sebelumnya, ia membayangkan tunanetra identik dengan peminta-peminta, gelandangan, atau paling-paling tukang pijit. Tapi di YMN, ia melihat sisi lain tunanetra. Di sini banyak tunanetra yang pintar dan berprestasi. Tak kalah dengan orang-orang yang berpenglihatan normal (mereka menyebutnya dengan istilah "orang awas". "Kami juga orang awas. Tapi, awas nabrak!" kelakar Fifi).

Awalnya, ia belajar Braille dengan mendatangkan guru dari YMN ke tempat tinggalnya di Klender, seminggu sekali. Belakangan ia kemudian pindah kos di dekat yayasan, di daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Sejak punya kegiatan ini, ia mulai bisa melupakan kesedihannya.

Beberapa bulan kemudian ia memperoleh kesempatan untuk menjadi instruktur bahasa Inggris di YMN, dua kali dalam seminggu. Ia menganggap ini sebagai peluang untuk mengembangkan diri. Paling tidak, agar ilmunya tidak hilang atau mandek.

Setahun kemudian, ia mendapat tawaran yang lebih menantang. Di akhir 2004, YMN bekerja sama dengan PT Samsung Electronics menerbitkan situs berita online di internet. Fifi ditawari menjadi wartawan.

Awalnya ia ragu karena ia sarjana pendidikan bahasa Inggris dan bukan komunikasi. Ia tidak punya latar belakang jurnalistik. Tapi keraguan ini berhasil ia kalahkan setelah mengikuti pelatihan jurnalistik khusus buat tunanetra. Instrukturnya dari Kantor Berita Antara dan detik.com. Setelah mengikuti pelatihan selama seminggu, ia pun resmi menjadi wartawan, penulis artikel di www.mitranetra.or.id. Ini adalah profesi yang tidak pernah ia bayangkan ketika penglihatannya masih awas.

Ketemu suami

Saat awal menjalani profesi ini, Fifi banyak dihadapkan pada kesulitan akibat matanya yang cacat. Satu kali ia punya janji mewawancarai Ariyani, Ketua Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI), di daerah Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Dari kantornya di Lebak Bulus, ia berangkat pukul 13.00 WIB bersama seorang temannya yang juga penyandang cacat mata. Karena belum begitu hapal wilayah Jakarta, keduanya sempat tersesat. Tak terhitung berapa kali mereka bertanya kepada orang yang dijumpai di jalan. Semua jenis angkutan sudah mereka naiki, mulai dari bus, mikrolet, taksi, bajaj, sampai jalan kaki. Tapi, alamat yang mereka cari tak juga ditemukan. Setelah capek muter-muter, akhirnya mereka sampai di tujuan pukul 17.00 sore. Empat jam sejak berangkat!

Meski sering menemui kesulitan, Fifi tak pantang surut. Ia bahkan mengaku menjadi lebih percaya diri dengan kondisinya sekarang. Ia justru lebih "pede" dibandingkan dulu, ketika mata kanannya masih awas. "Enggak tahu kenapa," katanya heran.

Setelah menjalani profesi sebagai wartawan, ia merasa semakin menemukan hikmah di balik cacat matanya. Sebagai wartawan, ia meliput banyak hal, perihal kecacatan secara umum. Bukan hanya soal tunanetra. Ia juga sering bertemu dan mewawancarai orang-orang terkenal. "Di situ saya melihat dunia baru. Ketemu orang-orang yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan," ungkapnya. Meski matanya tinggal sebelah, keberhasilan itu tak bisa dipandang sebelah mata.

Di YMN pula Fifi bertemu dengan belahan jiwanya, Hardi Prayitno, sesama wartawan yang juga sama-sama berpenglihatan lemah. Mereka berdua jatuh cinta, meskipun keduanya tak bisa tahu wajah masing-masing dengan jelas. Awal April 2006, mereka berdua menikah.

Kini, bersama suami tercinta, Fifi menjalani hidupnya yang ceria. Sekarang tugas kewartawanannya juga lebih mudah karena ke mana-mana ia bersama seorang fotografer, yang sekaligus bertindak sebagai pemandu jalan.

Ia mengaku makin menemukan hikmah di balik cacat matanya. Dunia yang sekarang ia masuki ternyata tak kalah indah daripada dunianya yang dulu, ketika penglihatannya masih awas. "Begitu penglihatan saya berkurang, ternyata saya malah bisa melihat dunia yang lebih luas. Tuhan betul-betul sayang sama saya," katanya.

sumber : http://intisari-online.com/home/read/453/fifi-melihat-dunia-dengan-jari

Melihat Dunia dengan Jari Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Bona Pasogit
Post a Comment
Terima kasih sudah berkomentar